Mengatakan TIDAK Terhadap Perkawinan Anak di Indonesia: Kisah Fatma

Tradisi yang telah mengakar-urat di Sulawesi Selatan menyebabkan angka perkawinan anak di provinsi ini salah satu yang tertinggi di Indonesia. Namun, fakta ini pula yang menggerakkan seorang remaja 16 tahun untuk bersuara dan melindungi masa depannya.

UNICEF
A drawing by artist Rizka Raisa Fatimah Ramli depicting child marriage.
Rizka/2019
11 Oktober 2019

Pada suatu sore, Fatma*, 16 tahun, pulang sekolah mengendarai motor. Jalan utama di desa kecil di Bone itu bergelombang di sana-sini, namun Fatma telah terbiasa menyusurinya. Seragam putih-birunya berkibar ditiup angin. Hatinya sejuk dan lapang.

Sesampainya di depan rumah, ia berhenti, memarkirkan motor, kemudian melangkah ke dalam. Dalam benaknya, sore itu akan berjalan seperti yang sudah-sudah: diisi dengan mengerjakan PR dan menonton TV setelah makan malam, sembari berkirim pesan dengan teman-teman di Facebook.

Bayangan tersebut buyar sesampainya di ruang duduk. “Kakak akan menikah,” kata adiknya, Irmawati, sembari menunjuk ke arahnya. Sesaat, Fatma seperti tak mendengar apa yang dikatakan Irmawati, tak paham implikasinya. Atau tak mau paham. Kepalanya berputar.

Ternyata, paginya, sejumlah orang datang ke rumah untuk melamar Fatma. Sang pelamar berusia 34 tahun, seorang kerabat jauh, kerja di Kalimantan. Fatma belum pernah bertemu dengan pria itu.

Tangis Fatma meledak. “Aku nggak mau nikah!” ia memekik, kemudian lari menghambur ke kamar tempatnya tidur bersama orang tua dan adiknya. Di kamar itu ia mengunci diri, mengabaikan panggilan keluarganya.

Indonesia adalah negara dengan angka perkawinan anak tertinggi ke-delapan di dunia. Satu dari sembilan perempuan menikah di bawah 18 tahun.

Bone: wilayah dengan tingkat perkawinan dini tertinggi di Indonesia

Di Bone, kabupaten kedua terbesar di Sulawesi Selatan, frekuensi perkawinan anak lebih tinggi dibandingkan wilayah-wilayah lain di Indonesia.

Tradisi yang telah mengakar-urat dan hubungan silatuhrami di kalangan orang tua banyak menyumbang terhadap angka ini.

“Adanya tekanan dari pihak orang tua sudah pasti,” jelas Aminuddin, guru honorer bimbingan dan konseling di SMP tempat Fatma bersekolah. “Budaya tenggat rasa begitu kuat di sini. Jika ada yang melamar, keluarga merasa tidak sopan untuk menolak.”

Faktor lain yang turut berperan adalah faktor ekonomi. Keluarga Fatma hanya satu dari banyak keluarga lain yang pendapatannya bergantung pada panen jagung tahunan. Untuk menutupi kebutuhan hidup, mereka harus kerja tambahan, apalagi ketika pandemi melanda. Sementara itu, keluarga pelamar datang menawarkan mas kawin yang jumlahnya jauh lebih besar ketimbang pendapatan rata-rata keluarga di desa itu selama setahun.

Tapi Fatma tahu, menikah berarti ia tak hanya harus meninggalkan rumah dan keluarganya, tapi juga sekolahnya, teman-temannya, cita-citanya. Ia tahu bahwa kebanyakan sekolah tak akan menerima murid perempuan yang telah menikah untuk kembali bersekolah, sebab murid itu dianggap contoh negatif bagi murid-murid lainnya.

Berbekal semua pengetahuan itu, Fatma mulai mogok makan. 

 

‘Negosiasi’ dengan orang tua

Sikap Fatma mengejutkan Sahari, tapi belakangan ia melunak. “Kami bersyukur ada yang melamar Fatma,” katanya. “Tapi yang akan menjalani pernikahan ini adalah Fatma. Dan dia tidak mau menikah. Jadi, kami menolak lamaran.”

Meskipun gembira bukan main, Fatma menyadari, banyak temannya tak seberuntung dirinya. Pada saat itu ia yakin bahwa orang tuanya sungguh-sungguh mencintainya.

 

Tantangan yang dihadapi dalam perkawinan dini

Jika sebelumnya usia minimum perempuan untuk dapat dinikahkan dengan izin orangtua adalah 16 tahun, UU Perkawinan Indonesia yang diamandemen pada September 2019 menaikkannya menjadi 19 tahun—setara dengan usia laki-laki. UNICEF menyambut baik perkembangan itu.

Namun, pada praktiknya, orang tua masih bisa meminta dispensasi kepada pengadilan dan mendapatkan izin yang sah secara hukum untuk mengawinkan anak-anak mereka di bawah umur.

Akibat kemiskinan yang mencekik dan sistem yang tak memihak kaum papa dan perempuan, mengawinkan anak perempuan di usia dini merupakan pertaruhan hidup dan mati bagi banyak orang tua. Kadang hal itu jadi jalan keluar satu-satunya.

Melalui kerja sama dengan sejumlah mitra, UNICEF memiliki sejumlah program pencegahan perkawinan dini yang akan sangat terbantu oleh dukungan Anda. (Jika Anda ingin berdonasi, silakan klik di sini.)

 

Memberdayakan remaja perempuan

Keberanian Fatma mengambil alih masa depannya merupakan contoh bagaimana perempuan bisa ‘memilih untuk melawan.’ Tapi banyak anak perempuan dalam situasi serupa tak mampu membebaskan diri dari perkawinan dini, entah karena tak ingin menyinggung perasaan orang tua, atau tak fasih menyuarakan pendapat mereka. “Biasanya, anak diam saja dan orangtua menganggap diam itu sebagai persetujuan,” kata Aminuddin.

Kunci menurunkan angka perkawinan anak di Indonesia adalah memastikan anak perempuan bersekolah hingga tuntas, kata UNICEF Child Protection and Gender Specialist Emilie Minnick. “Kemungkinan anak perempuan dengan pendidikan menengah dinikahkan di bawah umur sampai dengan empat kali lebih rendah,” katanya.

“Dengan bahu-membahu dalam memastikan anak-anak tetap sekolah dan tidak menikah dini, kita akan mampu menciptakan dunia yang diisi oleh perempuan-perempuan yang berdaya, mandiri dan mampu mengendalikan kehidupannya sendiri."

Emilie Minnick, UNICEF Child Protection and Gender Specialist

Bagaimana memperbaiki keadaan ini?

Pendidikan Kecakapan Hidup (PKH), sebuah prakarsa nasional yang didukung UNICEF hendak mengubah keadaan ini. PKH merupakan bagian dari BERANI, program kerja sama UNICEF dengan UNFPA, Pemerintah Kanada dan Badan Perencanaan Nasional (Bappenas).

Dimulai bulan Mei 2019 sampai akhir 2020, tujuan BERANI adalah memberi pencerahan bagi remaja perempuan dan laki-laki tentang perawatan diri saat menstruasi, kesehatan reproduksi perempuan dan bahaya perkawinan dini. Remaja juga dididik dalam kecakapan hidup, termasuk membuat keputusan matang menyangkut masa depannya. Ini termasuk memutuskan untuk tidak menikah sebelum menamatkan pendidikan.

Fatma termasuk yang merasa terberdayakan oleh program PKH. Setelah berhasil menolak lamaran, ia disekolahkan oleh orang tuanya di SMA dekat rumah. Ia bergabung dengan Palang Merah Remaja di sekolah dan bercita-cita jadi dokter.

 

Tantangan terhadap pelatihan PKH

Saat ini, sekolah-sekolah yang memberlakukan pelatihan PKH butuh menambah kapasitas, memperkaya konten dan memperluas jaringan. Data termutakhir menunjukkan bahwa pandemi COVID-19 telah memperlambat—bahkan menghentikan untuk sementara—pelatihan PKH di Bone karena pemberlakuan jarak sosial. Dan ini berbahaya terutama di lokasi-lokasi di mana desa tetangga yang tak terjangkau PKH tetap mempraktikkan perkawinan dini.

Aminuddin adalah satu dari 30 guru di 12 sekolah di Bone yang sudah mengikuti pelatihan PKH. “Saya ingin menjadikan PKH bagian dari kurikulum,” katanya. “Sayang apabila PKH terhenti hanya karena kekurangan dana.”

*Semua nama diubah untuk melindungi identitas murid dan guru.

Ingin membantu Fatma dan anak-anak perempuan seusianya mengatakan TIDAK pada perkawinan dini?

Berkat sumbangan dari para dermawan di Indonesia, serta kerja sama dengan para guru, orang tua dan pihak-pihak lain yang peduli tentang masa depan Indonesia, UNICEF telah berhasil membantu Fatma dan anak-anak seusianya menolak perkawinan dini melalui program BERANI dan lainnya.

Namun jalan menuju kesetaraan masih panjang dan berbelit. Masih banyak yang harus dilakukan dan kami butuh dukungan Anda.

Jika Anda ingin membantu melindungi masa depan anak perempuan seperti Fatma, Anda bisa berdonasi ke sini. Kami akan sangat menghargainya.

DONASI SEKARANG